[FF] North Pole [Chapter 1]

NORTH POLE

Chapter 1

BaekYeol // PG-15 // Chaptered; 2640w

‘“Beginilah  cara Yixing bekerja,” Chanyeol mendengus, masih terus mengamati ruangan itu. Dia menatap wajah korban yang ada disana satu-satu, kebanyakan laki-laki remaja. Dan saat itulah ia melihatnya; perfection.’

 
north pole

“Terimakasih atas kerja sama anda, Mr. Park,” sebuah tangan menjabatnya dan dia lantas membalas dengan mantap seraya tersenyum pendek.

Sure, Mr. Wu, aku selalu senang bertransaksi dengan anda,” jemarinya meraih koper kotak hitam yang tertidur diatas meja, “sampai bertemu lagi.”

Dia beranjak dari kursi, figurnya yang tegap menjulang tinggi. Tungkai kakinya mulai membuat langkah—sementara Bodyguard pribadinya sudah menunggu di ambang pintu ketika ia tiba disana. Matanya mendarat pada koper besar dalam genggaman tuannya, dan dia tersenyum picik. “Tangkapan besar lagi, sir Chanyeol?”

Si pemuda bernama Chanyeol membalasnya dengan mengangkat bahu dan sebuah senyum datar. Dia berjalan beberapa langkah lebih depan dari bodyguardnya, suara kaki mereka bergaung dalam lorong kosong yang panjang. Chanyeol menoleh ketika dia melewati jajaran jendela hitam, wajahnya yang tampan terpantul disana. Dia berhenti sejenak, melonggarkan ikatan dasinya.

“Mungkin aku akan beli jas baru, Jongin,”

Jongin, sang bodyguard, menautkan alisnya sambil mendengus. “Mungkin kau akan memberiku uang tip yang banyak, sir,

Chanyeol menimpalinya dengan sebuah seringai. Ada banyak hal yang bisa diperolehnya lewat uang dalam koper hitam ini, gajinya tiap bulan. Ia hanya perlu menukar sebuah ginjal untuk ratusan juta uang, terdengar mudah bukan?

Beginilah caranya bertahan hidup. Dia mencari korban, mengambil organ tubuh mereka untuk dijual, dan membuang jasadnya begitu saja—hidup atau mati. Chanyeol cukup terkenal di kalangan para penguasa pasar gelap, dia adalah salah satu agen termuda—usianya tahun ini baru mencapai kepala dua. Orang biasa tidak akan mengiranya sebagai agen perdagangan manusia, dia terlihat inosen dan catatan kriminalnya bersih.

Mungkin dia akan lebih dikira sebagai model ketimbang pembunuh, menilik wajahnya yang tampan dan segar. Sayang, sang pemuda dikenal jarang menunjukkan ekspresinya. Rekan kerjanya bilang dia seperti manekin, dengan tubuhnya yang tinggi kurus dan air mukanya yang dingin.

Tapi dia tidak sedingin itu—dia hanya tidak tertarik membuka dirinya. Chanyeol kadang merasa hidupnya terlalu mulus. Terlalu klise. Mempunyai pekerjaan riskan macam ini memang bukan hal biasa, tapi baginya, semuanya terasa membosankan. Menyamar jadi orang lain, bermain petak umpet dengan polisi, dan menembak kepala orang sudah jadi bagian dari rutinitasnya. Mungkin dia jenuh.

“Bukankah sebaiknya kau berlibur ke suatu tempat?”

Pertanyaan Jongin seolah menimpali suara hati Chanyeol. Dia kadang penasaran apa pengawalnya itu punya suatu kekuatan magis—atau ikatan batin—yang muncul karena sudah tinggal bertahun-tahun dengannya.

“Liburan? Aku ingin liburan ke Kutub Utara,” Chanyeol bergumam, kembali merajut langkah-langkah kecil dengan kakinya—menyusuri lorong. Sementara Jongin masih berada beberapa meter di belakangnya, membodohi Chanyeol dengan suara kecil.

Oh? Kukira kau ingin liburan ke Jupiter.”

<><><><><>

“Bawang putih, bumbu kaldu, kecap, lalu umm—ah! Daun bawang!”

Seorang lelaki kecil menenteng sebuah keranjang belanja di lengannya. Tangannya yang sebelah menggenggam secarik notes berisi daftar barang yang akan ia beli di swalayan ini. Perawakannya seperti anak kecil, dia tampak begitu senang menyusuri jajaran rak-rak—kadang sembari bersenandung menyanyikan theme song swalayan.

“Terimakasih!” pemuda itu membungkuk beberapa senti ketika ia selesai membayar belanjaannya di konter. Dia berjalan keluar dari swalayan, menjinjing kantung plastik putih. Tangannya yang bebas merogoh saku celananya—meraih ponsel dan menekan tombol-tombolnya untuk menelepon.

Pada dering ketiga, panggilannya diangkat.

“Ah, halo Suho-hyung! Aku sudah selesai, bisa jemput aku di swalayan?”

“Baekhyun-ah, maaf aku ada urusan. Kau bisa pulang sendiri?”

Lelaki yang dipanggil Baekhyun itu membuat ekspresi kecewa. Rumahnya cukup jauh dari tempat ini, jadi mungkin akan lebih praktis bila kakak sepupunya—Suho—mau menjemputnya dengan mobil. Tapi nampaknya dia sedang tidak beruntung.

“Hm… baiklah. Ya ya, aku akan hati-hati, sampai nanti hyung.”

Baekhyun menghela nafas panjang sambil kembali mengantungi ponselnya. Dia mulai berjalan menjauhi swalayan, tidak menyia-nyiakan waktu, karena langit sudah mulai gelap. Tubuhnya sensitif dengan udara dingin—apalagi angin malam Seoul. Dia ingin segera sampai rumah, bergelung dalam selimutnya yang hangat sambil menunggu makan malamnya dibuat oleh Suho.

Halte bis benar-benar kosong saat Baekhyun tiba disana. Padahal sekarang masih jam 6—dan tempat ini adalah daerah ramai—sungguh tidak biasa. Dia mendudukkan dirinya diatas kursi panjang, meperhatikan jalanan yang (bisa dibilang) cukup sepi. Menurut jadwal, bis berikutnya akan tiba lima belas menit lagi.

Baekhyun menghabiskan waktunya dengan bermain game di ponselnya. Dia tidak melihat ada seorang pemuda berpakaian rapi berjalan tergopoh kearahnya, air mukanya pucat. Baru ketika orang tidak dikenal itu berada cukup dekat, Baekhyun mengadahkan kepalanya. Dia menangkap sosok seorang lelaki tampan—sepertinya seumuran—tipikal pekerja kantoran, dengan postur tegap dan mata yang sedikit sayu.

“Permisi, err—boleh minta bantuanmu?” orang itu menatap tanah, menggaruk kepalanya.

Baekhyun mengangguk cepat, “Ya?”

“Motorku terperosok ke dalam parit, kurasa aku tidak bisa mengangkatnya sendiri,” dia menggigit bibir, “dan disini sepi sekali, hanya ada kau, jadi—“

“Tidak masalah! Dimana motormu? Akan kubantu,” Baekhyun memotong perkataannya—kebiasaan, karena dia tidak suka mengulur-ulur suatu pembicaraan.

“Ah, syukurlah,” Orang itu menghela napas lega, Baekhyun tak ayal turut senang melihatnya.

“Disana,” Baekhyun beranjak dari kursi halte dan jalan mengikuti orang tadi. Mereka menyebrangi jalan umum, masuk ke dalam sebuah gang sempit yang kotor, dan Baekhyun mulai bertanya-tanya mengapa ada orang yang mau mengendarai motornya lewat jalan seperti ini.

Uh. Motormu dimana?” Baekhyun akhirnya bertanya, ketika pemuda di depannya tiba tiba berhenti berjalan. Dia berbalik ke belakang, dan Baekhyun bisa melihat sebuah senyum berlesung memoles wajahnya.

Baru saja Baekhyun akan bertanya apa maksud senyuman itu, tapi sebuah tangan membungkamnya dari belakang. Jangankan melawan balik, untuk menyadari apa yang tengah terjadi saja ia tidak sempat—pasalnya, ada sebuah aroma aneh menyusup masuk dalam hidungnya dan semuanya berangsur gelap. Gelap, gelap, sampai kakinya menyerah untuk berdiri dan dia terjatuh.

Hal terakhir yang diingatnya adalah deru mobil dan suara sayup orang yang tadi ditemuinya.

‘Yang ini tangkapan ke 50.’

<><><><><>

Jarum jam pendek di apartmentnya merujuk pada angka 8 saat Chanyeol keluar dari pintu kamar mandi. Dia menghabiskan waktu nyaris sejam didalam sana, membasuh pikirannya dengan air shower. Banyak orang bilang mandi dapat meringankan perasaan kita. Rasa berat hati seolah jatuh bersama butir-butir air, dan ternyata itu terbukti. Chanyeol suka mandi—ya.

Chanyeol menggoyangkan rambutnya yang basah dan beberapa cipratan air jatuh ke lantai. Dia terus melakukannya, membuat jejak titik-titik dari pintu kamar mandi ke tempat tidurnya. Tubuhnya yang hanya berbalut sehelai bathrobe putih bergidik ketika air conditioner kamar bertiup ke arahnya. Bagian atas tubuhnya nyaris terbuka seluruhnya—tapi dia tidak peduli, toh tidak tidak ada yang melihatnya. Lagipula ia hidup sendiri—hanya sendiri.

Dia bahagia? Tentu. Kebahagiaan kosong yang dihantui rasa bersalah.

Muncul bercak basah diatas sprei merah tuanya ketika ia memanjat naik kasur, lalu duduk bersandar pada tumpukan bantal putih. Chanyeol akan coba merenung sebentar, memilah hal apa saja yang akan dilakukannya dengan uang yang baru diperolehnya. Kerjaannya kali ini dibayar lebih mahal ketimbang sebelumnya, otomatis jumlah uang yang ia peroleh jauh lebih banyak. Dia tidak bisa menyimpan semuanya di rekening bank, dia lebih suka menghabiskan hartanya dalam sekali pakai. Mungkin Jongin benar, liburan adalah hal yang tepat.

Dan lagi-lagi kekuatan magis Jongin bekerja; sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Chanyeol tepat ketika ia tengah memikirkan pelayan serampangannya itu.

From: Kim Jongin

Sir, pilih salah satu. Las Vegas-Paris-Hawaii-Tokyo?

To: Kim Jongin

Kutub utara.

Batin Chanyeol bisa mendengar Jongin mengatainya sialan saat itu. Baru saja ia akan membuka pesan Jongin selanjutnya ketika muncul sebuah telepon masuk. Layar ponselnya berkedip beberapa kali, menampakkan sebuah nama  yang tertera disana.

Zhang Yixing

Chanyeol menaikkan sebelah alisnya. Mendapat telepon dari rival kerjanya adalah hal yang langka, terlebih ketika beberapa hari sebelum ini ada seorang pembunuh bayaran mencoba mengambil nyawanya atas nama Zhang Yixing. Si assassin ini menabrakkan mobilnya sendiri kearah mobil yang ditumpangi Chanyeol. Untung saja dia punya Jongin—yang waktu itu kebetulan sedang menyetir untuknya—bodyguard yang benar-benar bisa diandalkan.

“Halo, Park Chanyeol disini,”

“Ah, Chanyeol. Kau masih hidup?”

“Ya, terimakasih atas kirimannya kemarin. Tidak kusangka kau akan mengutus pembunuh bayaran, Lay,”

Terdengar suara terkekeh kecil. “Waktu itu aku hanya bercanda. Dan—hey, jangan formal begitu. Panggil aku Yixing saja,”

“Kurasa menabrak mobil orang dengan sengaja tidak terdengar seperti bercanda,” Chanyeol mengerutkan alisnya, walau dia tahu Yixing tidak bisa melihatnya. “jadi ada apa menelepon kemari?”

“Aku ingin bicara sesuatu denganmu. Berdua saja,”

Chanyeol menunggu orang disebrang teleponnya untuk melanjutkan, tapi dia tidak bicara apa-apa lagi.

“Oh, bukan sekarang. Aku ingin bertemu langsung, besok kutunggu kau di kantorku—bagaimana?”

“Tidak mau. Kau terdengar mencurigakan,” Chanyeol tidak sebodoh itu untuk masuk ke markas musuh. Dan Yixing juga sebaiknya tidak sebodoh itu untuk mengira Chanyeol akan menurut begitu saja.

“Ah, ayolah Chanyeol. Aku serius. Aku memang tidak menyukaimu—tapi kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu. Kumohon?”

Chanyeol masih belum sepenuhnya yakin kalau Yixing bisa dipercaya. Tapi mendengar temannya itu memohon seperti tadi, ia merasa dirinya mulai luluh.

“Baiklah, untuk kali ini aku percaya padamu,”

“Benarkah? Oke, datanglah besok. Aku akan mengurus beberapa operasi dulu. Night!—TUUUT

Chanyeol memutar bola matanya. Yixing terdengar buru-buru, dia bahkan tidak sempat menanyakan jam berapa harus datang besok. Dan bicara soal operasi yang dikatakan Yixing tadi, sepertinya dia juga sedang panen. Cara kerja Yixing berbeda dengan yang lain—jika Chanyeol menarget korbannya satu-satu, Yixing langsung menculik korban dalam jumlah banyak dan melakukan operasi pencangkokan massal. Jika Yixing bilang dia sedang melakukan operasi, maka yang tengah dilakukannya adalah operasi yang benar-benar besar.

Chanyeol membayangkan kantor Yixing dipenuhi bau amis darah pasca operasi, lalu dia bergidik. Menjijikkan. Minimal ia tidak datang sendiri, ada Jongin—

Astaga, Jongin.

Pemuda tinggi itu meraih ponselnya lagi, lupa kalau sebelumnya dia tengah bernegosiasi—atau apalah—dengan pengawal pribadinya. Ada empat pesan baru, dan Chanyeol tertawa melihat isinya. Jongin benar-benar tidak sabaran.

From: Kim Jongin

Aku serius, bodoh. Satu kali lagi Kutub Utara dan aku akan meledakkan kamarmu.

From: Kim Jongin

Hey cepat balas, aku sedang memesan tiket untukmu!

From: Kim Jongin

PARK CHANYEOL.

From: Kim Jongin

Karena kau tidak membalas, baiklah. Las Vegas. Tiketnya sudah kupesan. Sudah ya, bye.

Chanyeol masih tersenyum saat dia menggelengkan kepalanya. Jongin jauh lebih muda darinya, usia mereka terpaut nyaris 5 tahun. Dia menyebalkan, labil (mengingat usianya masih remaja), dan kasar—lihat cara bicaranya pada Chanyeol tadi? Orang tidak akan menyangka bahwa hubungan yang mereka punya adalah seorang Tuan dan pelayannya. Tapi mungkin itu yang Chanyeol sukai dari Jongin.

Apa adanya.

Dia mengirim balasan pesan untuk Jongin sebelum akhirnya merebahkan diri di kasur dan mencoba untuk tidur.

To: Kim Jongin

Terserah. Besok kita akan mengunjungi Yixing, siapkan amunisi.

<><><><><>

Puluhan pasang mata menatapnya ketika Chanyeol tiba di sarang Yixing keesokan harinya. Pekerja disini adalah kaki tangan Yixing, wajar kalau mereka bersikap skeptis terhadap Chanyeol (yang jelas-jelas adalah musuh bebuyutan tuan mereka). Yixing memperkerjakan banyak orang yang myoritasnya adalah orang Cina—tanah kelahirannya. Chanyeol sempat kesulitan saat ia mencoba menjelaskan maksud kedatangannya pada penjaga gerbang depan. Si penjaga tidak mengerti Bahasa Korea—dan dia tampak curiga sekali dengan Chanyeol. Ditambah Jongin yang marah-marah tidak sabaran, nice.

“Kubilang, tuanku sudah membuat janji dengan majikanmu! Biarkan kami masuk, astaga!” Jongin menendang gerbang dengan keras, membuat sang penjaga makin waspada dan bersikeras tak membukakan pintu untuk mereka.

“Percuma Jongin, orang-orang Cina itu tidak akan pernah mengerti apa yang kau katakan,” Chanyeol menyahut beberapa jarak di belakang Jongin. Dia duduk bersila di sebuah batu besar, mencoba menghubungi Yixing dengan ponselnya. Si cina sialan, mungkin dari awal Yixing memang berniat mengerjainya seperti ini.

Jongin menyerah, akhirnya, dan berjalan kembali menuju mobil dengan gusar. Chanyeol mengekor di belakang Jongin, masih berharap Yixing akan mengakat panggilannya—tapi nihil.

Saat itulah Jongin mengeluarkan suara ‘oh’ kecil sambil menunjuk ke suatu arah. “Pintu belakang!”

“Pintu belakang,” Chanyeol mengulangi. Gerbangnya cukup pendek untuk bisa dipanjat, dan tidak ada penjaga disitu. Pintu ini berada di belokan, sudut mati, jadi tidak akan ada yang bisa memergoki mereka.

Sir, apa kau ingin masuk dengan mengendap-endap?” Jongin menoleh pada Chanyeol.

Chanyeol menatap gerbang kecil itu beberapa saat, melakukan analisis singkat, “Boleh, tapi kesannya kita seperti orang jahat,”

Jongin tertawa kecil, sambil menaikkan bahunya, “Kita memang orang jahat.”

Dan atas keputusan bersama itulah, mereka kini berdiri di dalam markas Yixing. Keduanya tengah menyusuri salah satu lorong dengan puluhan pasang mata menatap mereka dengan curiga. Chanyeol berusaha untuk tidak menggubrisnya, dia sibuk mencari pintu ruangan Yixing. Sebenarnya dia bisa dengan mudah bertanya pada siapapun disana, tapi—sekali lagi—Bahasa Cina bukan spesialisnya.

Bangunan ini mirip labirin rumah sakit. Terlalu banyak lorong, minim jendela, dan dindingnya dipoles putih pucat. Chanyeol sudah menemukan setidaknya 20 pintu sejak dia masuk pertama kali. Setiap pintu punya nomor sendiri, dibawahnya tertera label dengan bahasa cina. Ada satu pintu yang didesain berbeda dari yang lain. Dia bisa menerka dengan sekali tebak; itu bangsal tempat penyimpanan para korban yang Yixing culik.

Chanyeol tidak tahu apa yang mendorongnya untuk memutar knop pintu itu. Siapa tahu sedang dilakukan operasi di dalam sana. Mungkin dia curiga? Curiga karena kemarin Yixing bilang kelompoknya sedang melakukan operasi besar. Chanyeol membayangkan bagaimana kacaunya ruangan itu, tempat puluhan orang melakukan cangkok ginjal dengan paksa.

Sambil menahan napas, dia mendorong papan besi itu hingga berdecit terbuka. Lampu ruangan remang-remang, tipikal setting film horror. Ada puluhan meja besi datar berderet disana. Di masing-masing meja, terbaring seorang korban. Mereka semua tertidur—masih dalam pengaruh bius—tanpa mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan kehilangan organ tubuhnya. Di sudut ruangan, terdapat satu pintu lain—ruang operasi.

“Darimana mereka dapat korban sebanyak ini?” terdengar suara Jongin—setengah berbisik.

“Beginilah  cara Yixing bekerja,” Chanyeol mendengus, masih terus mengamati ruangan itu. Dia menatap wajah korban yang ada disana satu-satu, kebanyakan laki-laki remaja. Dan saat itulah ia melihatnya; perfection.

Matanya menangkap sesosok malaikat. Ah—mungkin bukan malaikat, itu terlalu berlebihan—tapi anak lelaki itu benar-benar rupawan. Surainya coklat seperti kayu mahoni—jatuh lemas membingkai wajahnya yang tertidur. Kulitnya sedikit pucat, kontras dengan bibir merahnya. Chanyeol tidak pernah tertarik dengan penampilan fisik seseorang sebelumnya. Sekali lagi, tidak pernah. Karena itulah ia tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini salah atau benar; ada sesuatu yang hangat menggelitik perutnya tiap dia memandang wajah itu.

Chanyeol butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mulutnya tengah mengaga kecil, mengagumi kesempurnaan di hadapannya. Yang membuatnya kembali ke dunia adalah suara seorang agen berpakaian putih yang membuka pintu ruang operasi, siap dengan korban selanjutnya.

Dan tiba-tiba Chanyeol menyadari sesuatu—pemuda cantik ini adalah korban sindikat. Dalam waktu beberapa jam, mungkin dia sudah tidak bernyawa lagi. Lalu mungkin dia akan dibuang, bersama dengan ribuan mayat kaku lain tanpa organ. Entah mengapa hatinya teriris, mengapa mereka mau menyia-nyiakan aset berharga seperti ini?

Park Chanyeol, 6 tahun sebagai professional di perdagangan gelap manusia, mungkin telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dia tidak tahu mengapa dia melakukan ini.

Jongin membulatkan matanya ketika mendengar bisikan perintah Chanyeol detik selanjutnya. Sang bodyguard sempat mendesiskan beberapa kata kasar, bukti dari rasa ketidak percayaannya. Chanyeol memutar bola matanya sambil berdecak. Jemarinya terangkat rendah kearah pangeran tidur berambut coklat didepannya, dan dia mengulang perintahnya;

“Kubilang, Jongin, keluar lewat pintu belakang. Bawa orang ini ke apartmenku. Tidak ada yang boleh tahu. Lakukan sekarang.”

“Apa kau bodoh?” Jongin menautkan alisnya, kentara sekali tidak setuju pada komando Chanyeol.

Ya, Chanyeol tahu dia bodoh. Mungkin dia akan menyesali ini di kemudian hari, tapi ia tidak peduli. Sesuatu seperti mendorongnya untuk tidak membiarkan lelaki mungil itu mati. “Jongin, ini bukan urusanmu. Lakukan,”

Jongin mengerang kesal, tapi dia tetap melaksanakan apa yang diperintahkan tuannya. Dia mengangkat lelaki itu dari atas meja besi ketika agen berbaju putih yang ada disana sudah kembali masuk ruang operasi. Chanyeol berjalan mendahuluinya, hendak membukakan pintu untuk mempermudah Jongin. Tapi—oh, seseorang masuk menerobos dengan tergesa sebelum Chanyeol sempat meraih gagang pintu.

Mereka nyaris bertubrukan, tapi orang tadi mendadak menghentikkan gerakannya di ambang pintu. “Chanyeol?”

Yixing,” Chanyeol berdiri mematung, sementara Jongin diam pada posisinya menggendong anak itu. Mendadak semuanya terasa kikuk, karena Yixing juga hanya membisu menatap Chanyeol.

“Oh—halo,” Yixing mendekat beberapa senti. Dia menatap Jongin, pemuda dalam pangkuannya, dan Chanyeol secara bergantian, “Park Chanyeol.”

Chanyeol bisa menerka apa yang akan dikatakan Yixing setelah ini.

“Boleh kutahu, apa yang sedang kau lakukan dengan tangkapanku?”

–To Be Continued—

 

A.N: Hai! Aku balik sama ff Baekyeol lagi. Susah nyari referensi buat sindikat perdagangan organ tubuh manusia, jadi buat beberapa hal aku ngarang disini. Well, enjoy!

64 pemikiran pada “[FF] North Pole [Chapter 1]

  1. Ping balik: REKOMENDASI FF EXO : ChanBaek (Bromance/Yaoi)-[170416] – Twelvenad

  2. Ping balik: REKOMENDASI FF EXO : ChanBaek (Bromance/Yaoi)-[170416] – Interstellar XII

Tinggalkan komentar