[FF] North Pole [Chapter 5]

North Pole

Chapter 5

BaekYeol // PG-13 // Chaptered

{ Tidak mungkin Byun Baekhyun tewas disini. }

north pole

Chanyeol meringis nyeri ketika dia tiba di dapur mansion. Dia berhasil meruntuhkan pertahanan di gerbang belakang, dengan membius beberapa penjaga dan berkelahi dengan sisanya. Sesuai dengan saran Jongin; tidak perlu takut karena penjaga kuat ditugaskan di bagian depan, jangan memakai senjata api, dan hancurkan kamera pengawas dekat gerbang. Chanyeol menuruti semuanya—termasuk bagian larangan memakai senjata—hingga ia harus menderita banyak luka di tubuhnya akibat perkelahian fisik. Memar besar di dada, dan beberapa bagian kulit yang tersobek kecil.

Chanyeol membawa Baekhyun melewati dapur belakang yang kosong itu. Sepertinya ada dapur lain yang digunakan sebagai dapur utama—untuk hidangan pesta—karena disini tidak ada tanda-tanda makanan sama sekali. Pintu dapur terbuka beberapa senti, ada suara dentum musik mengalun masuk dari sela-selanya. Pesta sudah dimulai.

“Sakit ya? Kukira kau akan kalah,” gumam Baekhyun sembari berjalan di sebelahnya, menatapi luka gores yang melintang di pipinya. Chanyeol mendecak sebal.

“Jangan berkomentar, Byun Baekhyun, atau kujahit mulut kecilmu itu.” Chanyeol terkejut dengan apa yang diucapkannya. Dia makin sadis dan tidak waras seperti Jongin.

Baekhyun merapatkan bibirnya sambil menggerutu pelan. Dia menghentikkan langkahnya ketika orang jangkung didepannya juga berhenti, berbalik kepadanya. Chanyeol mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya—sebuah earplug dan mic kecil berbentuk pin. Seperti alat komunikasi yang digunakan agen rahasia di film-film. Baekhyun sempat merasa kagum, tapi kemudian membuang pikirannya jauh-jauh ketika mengingat bahwa yang akan dilakukannya sekarang adalah tindak kriminal.

“Kau bisa mendengar suaraku lewat ini,” Chanyeol memberinya sebuah earplug. Baekhyun mengenakannya di sebelah kanan, lalu menutupi telinga dengan bagian rambutnya yang menjuntai.

“Kau juga bisa bicara denganku pakai ini, cukup dengan suara kecil saja,” lanjut Chanyeol. Kali ini dia menyelipkan tangannya ke balik gaun yang Baekhyun kenakan—dari atas—dan menyematkan mic kecil itu disana. Baekhyun bahkan tidak sempat menarik napas, dia hanya diam menunggu Chanyeol sambil menahan pipinya yang bersemu hangat.

“Bisakah berhenti menyentuhku secara eksplisit, Park Chanyeol?” Baekhyun melepas napas yang sedari tadi ia tahan, ketika Chanyeol selesai dengan urusnnya. Chanyeol mengangkat alis, terlihat bingung. Dia beralih dari Baekhyun dan ikut menyematkan mic dibalik kerah kemejanya.

“Aku kan hanya membantumu,” Chanyeol menaikkan pundaknya.

“Kau menyentuh dadaku. Om Mesum.”

Chanyeol memasang atribut penyamarannya yang lain—dasi pelayan yang ia dapatkan didepan tadi, serta kumis tebal mainan yang ia tempel dibawah hidungnya. Mungkin dengan begini Kris tidak akan mengenalinya. “Kau laki-laki,Byun Baekhyun. Tolong berhenti bicara, jangan jadi seperti Jongin,” dia memotong Baekhyun, yang sepertinya ingin mengatainya mesum lagi.

Chanyeol tahu Baekhyun menahan tawa ketika melihat kumis barunya. Dia terlihat konyol, mungkin seperti maskot Pringles atau Charlie Chaplin. Dan ini semua demi si Do Kyungsoo itu. Demi Yixing juga. Semua orang harus berterimakasih padanya kalau dia berhasil menuntaskan misi ini.

Chanyeol balas memelototi Baekhyun dengan kesal. Matanya lantas mendarat pada lengan Baekhyun yang terbuka, luka merah lebam jelas terpapar disana. Chanyeol tidak tahu apa Baekhyun masih menahan sakit dari insiden waktu itu. Mungkin ini terlambat, tapi dia merasa iba. Karena tiba-tiba saja mulutnya bertanya, “Apa masih sakit?”

“Apa?” Baekhyun mengerjapkan matanya sambil memiringkan kepala. Ah, aksi imut ini lagi.

Chanyeol buru-buru merapatkan mulutnya ketika dia sadar apa yang baru saja dia katakan. Ini bodoh—mana mungkin ada penjahat yang berbelas kasih pada tawanannya. Penjahat—apalagi buronan kelas atas seperti dia—tidak seharusnya lemah pada lelaki kecil seperti Baekhyun. Chanyeol bisa kapan saja membunuhnya, bukankah dia dijuluki darah dingin oleh orang lain?

“Tidak.” Chanyeol melirik Baekhyun sekali lagi sebelum membuka pintu dapur, menampakkan lorong mewah dengan pajangan di tiap sudutnya. “Maksudku, lakukanlah ini dengan benar. Aku tidak mau tahu kalau kau sampai ditangkap mereka dan mati,” tambahnya.

Baekhyun menggigit bibir bawahnya sambil mengangguk, lalu perlahan mengekor di belakang Chanyeol, keluar dari dapur. Ternyata mereka berada di ujung lorong, hanya ada dua-tiga pelayan yang berkeliaran disana, sibuk dengan piring dan nampan. Suara musik bergetar di telinga mereka, makin keras. Ujung lorong yang satunya terhubung dengan sebuah tempat yang—sepertinya—luas. Chanyeol bisa melihat beberapa orang berpakaian formal dari jauh, dia berasumsi bahwa itulah tempat pestanya diadakan.

“Pergi ke ujung lorong dan membaur dengan yang lain, Baekhyun,” Chanyeol bergumam tanpa melihat ke belakang. Baekhyun bisa mendengarnya dengan jelas lewat earplug yang berada di telinganya, lalu tanpa sadar mengangguk.

“Mulai sekarang kita orang asing, lakukan tugasmu dengan baik.”

Baekhyun mengerjapkan matanya berkali-kali ketika tiba di ballroom. Bukan karena lampu besar yang menggantung di langit-langit—atau hiasan emas yang menempel di sepanjang dinding, bukan juga karena matanya kelilipan. Dia terkesima.

Oh,” Baekhyun menjerit takjub dalam hati. Dia tidak pernah datang ke acara atau tempat seperti ini—dimana semua orang berpakaian cantik, makanan mewah bertebaran dimana-mana, serta dipenuhi nyala lampu flash dari agen media yang mengambil dokumentasi. Sesaat dia berpikir dia masuk ke tempat yang salah.

Chanyeol benar-benar menghilang begitu mereka tiba di ruangan ini. Baekhyun tidak bisa menemukan sosok tingginya dimanapun, diantara tamu undangan—para pemuda dengan tuxedo dan gadis-gadis cantik yang seksi. Dia tidak tahu persis apa yang harus dilakukannya—tentang mencari Kris Wu, mengalihkan perhatiannya, dan  hal-hal lain. Pada akhirnya dia berjalan melintasi ruangan dengan lagak anggun, ketimbang harus berdiri kikuk di satu tempat. Bisa-bisa ada yang mencurigainya.

Baekhyun bisa merasakan gaun hitamnya terangkat naik tiap kakinya melangkah. Dia mengutuk dalam hati, menarik ujung gaunnya dengan sebelah tangan agar menutupi pahanya. Tapi kemudian dia menyerah, karena ada beberapa orang mulai mengamatinya dengan penasaran—gadis mana yang menarik-narik gaunnya sendiri di pesta? Dan untung saja dia sudah mencukur kakinya jauh sebelum bertemu Chanyeol, omong-omong. Kalau tidak mungkin dia bisa malu setengah ma—

“Minum, nona?”

Baekhyun nyaris menjerit kaget.

Karena baru kali ini ada yang memanggilnya nona, dan karena seorang pelayan tiba-tiba menyodorkan nampan berisi gelas kecil ke arahnya. Warna air dalam gelas itu merah gelap—mungkin jus. Baekhyun mengulum senyum paling manis sambil mengiyakan, lalu mengambil salah satu gelas dari atas nampan. Dia menenggaknya, dan hampir saja memuntahkan isinya kembali ketika sebuah rasa asam manis menyentuh lidahnya. Baekhyun tidak tahan asam.

Untung saja Baekhyun masih ingat harga dirinya, tidak mungkin ada orang yang meludah di pesta—kecuali orang itu tidak punya etika. Dia menelan habis semuanya sambil mengernyit. Semoga saja tidak ada kamera pengawas yang merekam wajahnya saat itu.

Baekhyun kembali berjalan sambil mengamati sekelilingnya. Dia mengenali beberapa tamu sebagai politikus dan orang-orang penting yang sering muncul di TV. Kebanyakan datang bersama pasangannya, berlomba-lomba jadi paling mewah. Dia tengah memperhatikan seorang pemuda kecil berambut emas yang lewat didepannya ketika—tiba-tiba—speaker di telinganya mengeluarkan bunyi dersik kecil.

“Byun Baekhyun. Hei, bisa dengar aku?”

Suara Chanyeol.

Baekhyun bergegas ke balik salah satu pilar besar dan bersandar disana, agar tidak terlalu mencolok. Orang mungkin akan melihatnya tengah bicara pada dinding itu, “Ya Chanyeol. Sudah selesai?” sayup dia bisa mendengar Chanyeol mendengus.

“Baekhyun, cari tahu dimana ruang pribadi Kris Wu.”

Baekhyun memutar bola matanya, “Aku bahkan tidak tahu yang mana Kris Wu itu.”

“Dia ada di pesta. Cari saja,” desak Chanyeol.

“Baik. Beritahu seperti apa penampilannya.” Baekhyun kembali membaur dengan tamu undangan, berusaha untuk membedakan suara Chanyeol dengan musik yang menggaung keras di ruangan.

“Dia tinggi. Tapi, oh, aku lebih tinggi jelas.”

Baekhyun membayangkannya. Wow, orang itu pasti tinggi sekali. Chanyeol saja sudah terlihat seperti raksasa di matanya. Tapi dia tidak melihat adanya tanda-tanda raksasa sejak masuk ruangan. Harusnya tidak sulit menemukan orang setinggi itu diantara lautan manusia ini. Harusnya.

Rambutnya hitam dengan potongan pendek.”

Bodoh, Baekhyun mengutuk dalam hati. Semua pria yang ada disini mayoritas berambut hitam. Kecuali orang yang barusan melewatinya—rambutnya emas.

Alisnya tebal. Mukanya menyebalkan kalau tidak salah.”

Sosok yang terbayang di kepalanya adalah tokoh Shinchan versi dewasa, dengan rambut hitam pendek dan alis tebal. Perutnya mendadak geli, Baekhyun tidak bisa menahan tawanya. Dia menutup mulut dengan kedua tangan sambil menahan cekikik yang dia keluarkan. Kepalanya sibuk menoleh, penasaran dengan sosok asli Kris Wu. Kalau benar-benar sesuai dengan bayangan Baekhyun, mungkin hal pertama yang terjadi padanya ketika bertemu Kris adalah mati tertawa.

“Ah, satu lagi. Mukanya dingin dan…”

Entah Chanyeol memang menggantung kalimatnya atau Baekhyun memang tidak sempat mendengar perkataan Chanyeol selanjutnya. Dia tiba-tiba menubruk sebuah sosok besar, dan nyaris terjatuh ke belakang kalau saja tidak ada tangan yang merangkul pinggulnya.

“O-oh maaf!” Baekhyun berusaha berdiri tegak lagi dengan kikuk. Dia menengadah, menatap lelaki dengan setelan jas rapi yang menjulang di depannya. Rambutnya hitam—dipotong pendek rapi, alisnya tebal, matanya gelap dan tajam, dan ada sebuah ornamen naga emas disematkan di kerah bajunya. Mungkin Baekhyun sedang sakit, dia juga tidak tahu mengapa wajahnya tiba-tiba merona merah.

“Kau tidak apa-apa?” pemuda itu bertanya, suaranya berat dan lembut. Baekhyun bergidik.

Baekhyun memalingkan mukanya sedikit, berbisik dengan suara sepelan mungkin, paling tidak agar Chanyeol bisa mendengarnya.

“…dan tampan, Chanyeol?”

“Ya! Tapi aku jauh lebih tampan!”

Chanyeol berdiri di sebuah lorong yang agak jauh dari ruangan pesta. Tidak ada yang mencurigainya ketika dia mengendap-endap di antara ratusan tamu, lalu masuk menyelinap ke dalam sebuah pintu. Tentu saja, dia mengenakan seragam pelayan dan ada kumis palsu bertengger di wajahnya—sangat tidak menarik.

Tadinya Chanyeol berharap akan menemukan sebuah ruang rahasia dibalik pintu itu. Tapi yang dilihatnya hanya sebuah lorong—sama persis dengan lorong tempatnya muncul barusan. Jika lorong sebelumnya dihiasi banyak lukisan, kali ini justru malah deretan pintu yang berderet rapi di dinding. Mengingatkannya dengan rumah Zhang Yixing. Chanyeol berpikir apa semua orang Cina punya struktur rumah seperti ini.

Komunikasinya dengan Baekhyun terputus. Chanyeol menghela napas panjang dan mulai menyusuri lorong dengan hati-hati. Ada satu pintu yang menarik perhatiannya—ukurannya lebih besar ketimbang yang lain, dan warnanya berbeda. Siapa tahu itu ruang pribadi Kris Wu. Siapa tahu dia beruntung. Siapa tahu.

Chanyeol baru saja akan membuka pintu itu, tapi ponsel dalam kantung celananya bergetar keras.

“Kau tidak percaya padaku?”

“Iya.”

“Kau meragukan identitas nyonyaku?!”

“Iya.” Sehun mengangguk lagi, mengulang reaksi yang sama berkali-kali.

Jongin terus menyerangnya dengan pernyataan rasa protesnya, berharap polisi aneh itu mau percaya dan segera angkat kaki dari sini. Awalnya dia hanya berniat pura-pura marah, tapi entah kenapa darah benar-benar naik ke otaknya setelah melihat reaksi Sehun yang—Jongin tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya—sampah. Jongin berpikir bagaimana kalau dia memang tengah mengantar nyonyanya ke pesta dan polisi malah meragukan kesaksian polosnya.

“Aku akan mengadu pada nyonya,” desisnya. Dasar si sipit sialan, Jongin menambahkan dalam hati.

“Mengadulah,” Sehun mengedikkan bahu, “tapi sebelum itu tolong ikut aku untuk interogasi karena kau mencurigakan.”

Hah, tidak mau,” Jongin mendengus. Dia bersandar pada bantalan jok, berusaha terlihat santai (tapi gagal, karena ekspresi mukanya sangat kacau saat itu). Pokoknya dia enggan keluar dari mobil ini. Mau disimpan dimana mukanya nanti kalau Chanyeol sampai tahu bahwa asistennya tertangkap duluan? Dibodoh-bodohi orang bodoh itu tidak menyenangkan.

“Keluar dari mobil atau kupanggil rekanku yang lain, Tuan?” kali ini ada nada memaksa dalam kalimat Sehun. Dia tidak lagi berwajah datar, alisnya bertaut. Mungkin dia juga mulai kesal, sama seperti Jongin.

“Bukankah kau yang mencurigakan?” Jongin memutar bola matanya dengan skeptis. “Siapa tahu kau orang jahat. Saat aku lengah kau akan mencuri mobil ini lalu kabur. Nice one, dude.”

Sehun tersenyum masam, kehilangan kesabarannya, “Aku punya Lamborghini Veneno. Aku tidak tertarik dengan mobil mainan.” Harusnya Jongin merekam percakapan ini dan memberinya pada Chanyeol, mungkin yang bersangkutan akan mengamuk begitu tahu mobil kesayangannya dikatai orang lain.

Kau bangga? Anjingku juga punya Lamborghini Veneno.”

Ini mungkin tidak ada hubungannya dengan keadaan sekarang—tapi Jongin diam-diam tersenyum. Dia membayangkan bagaimana kalau anjing kecilnya—Monggu—benar-benar mengendarai sebuah mobil mewah dengan kakinya. Super lucu. Sayang sekali, menurut Oh Sehun ini tidak lucu.

“Jangan bercanda.”

“Kalau kau tidak percaya juga, aku akan menghubungi nyonya,” Jongin menggertak, kali ini sambil benar-benar meraih ponsel dan menekan nomor Chanyeol. Siapa lagi yang bisa dia hubungi.

“Halo,” sapanya sambil menggertakkan gigi. Upaya agar dia tidak berteriak pada Chanyeol di telepon.

“Halo Jongin? Kau tahu aku sedang di dalam, kan? Tolong jangan mengganggu pekerjaan—“

“Nyonya.”

Terdengar jeda beberapa detik. Jongin bisa membayangkan dengan jelas, wajah Chanyeol yang mulai mengernyit bingung, “….Jongin?”

“Nyonya, ada satpam menuduhku jadi penyusup. Dia tidak percaya kalau aku sedang mengantar nyonya ke pesta.”

“Umm.. Jongin. Kau salah sambung.”

“Iya nyonya, aku sudah memberitahunya kalau mobil kita memotong jalan! Dia tidak percaya!”

“Apakah aku bicara dengan Kim Jongin?”

“Oh begitu? Baik nyonya, aku mengerti. Bersenang-senang di pesta ya.”

“Jangan telepon iseng! Kau tahu aku sedang sibu—“

Jongin menutup ponselnya sebelum bisa mendengar jawaban Chanyeol. Tuannya benar-benar bodoh, tidak bisakah dia membaca keadaan—atau paling tidak pura-pura mengikuti sandiwara Jongin? Chanyeol beruntung punya asisten yang cerdik.

Sehun masih bertengger di kaca jendela mobil, memperhatikan Jongin dengan malas. Entah dia tertipu dengan aksi barusan atau tidak. Padahal Jongin kira Sehun orang bodoh yang bisa dikelabui dengan mudah, seperti satpam-satpam yang pernah dia hadapi sebelumnya.

“Sudah selesai mengadunya?” Sehun mencibir.

“Ya,” timpal Jongin, “Nyonya bilang, hajar saja.”

Jongin tidak tahu bagaimana keadaan bisa tiba-tiba terbalik setelah itu. Sehun menarik kerah bajunya melalui jendela mobil yang terbuka, lumayan kasar. Jongin tidak bereaksi awalnya. Dia merasa pikirannya kosong—tahu-tahu saja dia sudah membuka pintu mobil dan menerjang balik dengan tinjunya.

Chanyeol memutar bola matanya ketika Jongin tiba-tiba memutus telepon. Dia tidak mengerti apa yang Jongin katakan barusan—siapa itu nyonya? Padahal dia hanya menugaskan Jongin untuk menunggu di mobil dan bersiap untuk kabur kapan saja, bukannya mengerjainya dengan telepon iseng begini.

Dia beralih kembali pada pintu yang hendak dibukanya. Kepalanya menoleh hati-hati, memastikan bahwa tidak ada orang lain disana. Chanyeol memutar knop pintu perlahan—tapi kemudian gerakannya terhenti lagi. Kali ini bukan gegara ponselnya.

“Hei kau! Siapa kau?”

Ada sebuah suara, meneriakinya dari ujung lorong. Chanyeol mendelik dengan cepat, mendapati sosok seorang pemuda kecil berseragam hitam—sama persis dengannya—berlari dengan geram ke arahnya dengan membawa nampan berisi gelas. Merasa kikuk, Chanyeol menegakkan tubuhnya dan menahan napas, menunggu orang itu berhenti di depannya.

“Kau siapa?” orang itu mengulangi.

“Aku—aku pelayan,” Chanyeol mengedikkan bahu, berusaha terlihat santai. Tentu saja usahanya gagal. Dia terlihat terlalu kikuk.

“Iya aku tahu,” sang pelayan memutar bola matanya. “Divisi mana kau?”

Divisi menyusup ke kamar Kris Wu, Chanyeol menjawab dalam hati. Dia mengerutkan dahinya dan berpikir, alasan apa yang kira-kira bisa diterima. “Aku bekerja menerima tamu,” timpalnya kemudian.

Chanyeol sempat berpikir bahwa alasannya salah—memangnya ada divisi penerima tamu? Tapi rupanya pelayan itu percaya. “Lalu apa yang kau lakukan disini?” tanyanya penasaran.

“Aku baru, ah—” Chanyeol mengacungkan tangannya di udara dan membuat jeda lama, “pipis.”

Great, Chanyeol.

“Kau karyawan baru ya? Toilet kan di koridor sebelah, dasar,” si pelayan menghela napas. Chanyeol mengangguk sambil memasang ekspresi kebingungan—setengah acting dan setengah serius, karena dia benar-benar bingung sekarang. Ada berapa koridor di rumah ini sebenarnya, wow.

“Aku Xiumin, kalau kau butuh bantuan hubungi aku di dapur,” lanjutnya tiba-tiba. Xiumin mengulurkan nampan di tangannya ke arah Chanyeol, “Bawa ini ke ballroom, kembali kerja sana!”

Chanyeol menerima nampan itu dan memutar tubuhnya, hendak berbalik ke arah ruangan pesta. Harusnya pada saat-saat seperti ini dia melumpuhkan pelayan itu dan kembali mengendap-endap mengitari rumah. Bukannya mengerjakan tugasnya sebagai pelayan gadungan. Dia benar-benar tidak pandai menyusup.

Sebelum Chanyeol keluar dari koridor, sebuah suara memanggilnya. Dia berbalik, dan dari kejauhan Xiumin tersenyum padanya sambil berkata bahwa kumisnya bagus.

Chanyeol tiba di ruangan pesta dengan sebuah nampan berisi gelas, sebuah kumis, dan seulas senyum lebar yang menempel di wajahnya. Ternyata ada juga orang yang menganggap kumis mainannya ini keren. Komentar Xiumin barusan benar-benar membuatnya semangat lagi.

Sambil mencari kesempatan untuk menyerahkan nampan ke tangan pelayan lain dan kembali menyusup, Chanyeol berkeliling ruangan untuk menjalani pekerjaan sementaranya. Dia membungkuk pada tamu yang baru datang, tersenyum, lalu menawarkan mereka welcome drink. Kris Wu harus memberinya gaji untuk ini.

Chanyeol mendelik ketika seorang pemuda bersurai emas menghampirinya, “Ah pelayan! Aku minta minumnya,” ujarnya sambil menyeringai lebar dan meraih segelas anggur dari atas nampan. Anak yang manis.

Dia baru saja akan membungkuk dan kembali melanjutkan pekerjaannya ketika tiba-tiba seorang petugas keamanan—dengan seragam sama dengan yang Chanyeol temui di gerbang belakang—berlari tergopoh kearah lelaki berambut emas itu. Sang petugas melaporkan sesuatu dengan panik—Chanyeol bisa mendengarnya dengan jelas diantara gemuruh musik;

“Inspektur Luhan, ada penyusup. Dia memarkir mobilnya di belakang mansion. Sekarang wakil inspektur Sehun sedang berkelahi dengannya.”

Lantas Chanyeol teringat Jongin. Keringat dingin turun dari dahinya dan dia buru-buru menjauh dari tempat itu, membaur dengan kerumunan.

Ada orang dari kepolisian.

Jongin ketahuan.

Ah. Sialan.

Baekhyun merasa seperti sudah berdiri disana selama seribu tahun, menatap wajah tampan di depannya tanpa bergeming sama sekali. Dia tidak tahu mengapa lawannya malah balas memandanginya, ketimbang berbalik dan pergi begitu saja. Apa ada sesuatu yang aneh di wajahnya? Atau memang waktu sedang berhenti?

“Kenapa diam saja?” Baekhyun mengangkat kedua alisnya dengan angkuh. Memelototi seorang gadis itu tidak sopan. Ya—walaupun dia bukan seorang gadis, tapi—untuk kali ini—iya.

“Karena kau juga diam,” balas pemuda itu, suaranya pelan. “Kau nampak bingung nona, ada apa?”

“Kau…” Baekhyun ragu apakah keputusannya untuk bertanya ini tepat atau tidak. Tapi dia tidak punya pilihan lain, “Kris Wu?”

“Tentu saja, kenapa?” jawaban itu keluar dengan cepat. Baekhyun diam-diam menggigit bibirnya—orang ini benar-benar Kris Wu.

Rasanya aneh kalau tamu pesta tidak tahu tuan rumah yang mengundangnya kesini—matilah dia. Jika sampai ketahuan kalau dia menyusup, mungkin Park Chanyeol juga akan tertangkap. Lalu mereka akan ditahan, dan dia dituduh sebagai komplotan Chanyeol. Pada akhirnya dia sama-sama jadi teroris seperti Chanyeol, masuk penjara seumur hidup—astaga, tidak mau. Suho-hyung pasti akan sangat kecewa.

Baekhyun menahan napas dan berusaha menenangkan dirinya, paling tidak agar rasa paniknya tidak terlalu kentara. “Ah maaf, aku hanya sedikit pusing,” dia bergumam, sambil berusaha melangkah pergi dari situ.

Sayang sekali, Kris menahan tangannya, menariknya kembali ke tempat semula, “Kau manis sekali. Aku tidak pernah melihatmu, siapa kau?”

Apa ini, sesi flirting?

“Aku dari media,” jawab Baekhyun dengan pendek. Tidak mungkin dia mengaku sebagai istri seorang pejabat yang hadir disini.

“Ah begitu,” Kris menimpalinya dengan segaris senyum. Baekhyun merasa pipinya panas lagi.

Baekhyun mencoba beranjak lagi dari situ. Kali ini berhasil, Kris tidak menahannya—atau menghalangi jalannya sambil mengatainya manis. Tapi Baekhyun sangat tidak beruntung, karena begitu dia berbalik, ada seorang pelayan yang membawa nampan melintas ke arahnya.

Mereka nyaris bertubrukan—nyaris. Baekhyun menghindari pelayan itu, tapi lengannya mengenai gelas-gelas yang ada di atas nampan. Tak ayal cairan merah gelap itu tumpah, menghujani gaun hitam dan betisnya. Beberapa tamu wanita memekik kecil sambil menutupi mulut mereka, sementara Baekhyun hanya diam membatu—membiarkan bagian bawah gaunnya basah oleh air.

Pelayan itu kikuk, bingung dengan tangannya yang masih membawa nampan dan insiden yang tengah terjadi. Sebelum dia sempat mengatakan apapun pada Baekhyun, Kris menyela dengan dingin, “Kau lancang sekali, kembali ke dapur!”

“Ah, ini tidak apa-apa,” Baekhyun menggelengkan kepalanya. Dia mengangkat ujung gaun dengan hati-hati—dan baru saja akan berjalan ke arah meja hiasan untuk mengambil tisu, tapi Kris menahannya. Lagi, untuk yang kedua kalinya malam ini.

“Maafkan kejadian tadi, nona. Aku akan tanggung jawab.” Kris menatapnya dalam-dalam, sampai Baekhyun merasa tubuhnya nyaris meleleh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Kris, tahu-tahu saja lelaki jangkung itu menyeretnya keluar dari ruangan pesta.

Usahanya untuk melarikan diri sia-sia. Kris menggenggam tangannya kelewat erat.

Ada tiga pilihan; tetap jalankan misi, kabur, atau ledakkan tempat ini.

Chanyeol tidak akan memilih opsi yang terakhir, karena dia tidak membawa bahan peledak atau apapun. Dan meledakkan tempat ini sama saja dengan bunuh diri. Chanyeol juga tidak akan tetap menjalankan misi—terlalu riskan. Mungkin dia bisa kembali ke rumah ini lain kali, untuk mengambil permata milik Kris.

Jadi rencananya kali ini adalah kabur. Dia akan tiba di tempat Jongin sebelum para polisi itu, mengambil pistol di mobil—karena dia tidak bawa apapun sekarang—dan menembak si wakil inspektur—atau siapapun itu—yang tengah berkelahi dengan Jongin. Lalu mereka semua akan pulang dengan selamat. Permata bisa menunggu.

“Byun Baekhyun, kita kembali ke mobil sekarang. Rencana gagal.” Chanyeol masuk ke dalam sebuah koridor, lagi, dan berbisik pada micnya.

Tidak ada jawaban.

“Byun Baekhyun?” Chanyeol memanggilnya lagi, merapatkan earplug ke telinganya. Yang membalasnya hanya bunyi gemerisik kecil.

Chanyeol hendak membuka mulut lagi—memanggilnya lebih keras—tapi sebuah suara menghentikannya. Dia mendengar langkah kaki di ujung koridor, dan benar saja ada orang disana, berjalan membelakanginya. Kris Wu dan—wow, Chanyeol membulatkan matanya, Byun Baekhyun? Mereka berbelok di pertigaan lorong, tampak sangat tergesa. Chanyeol tidak mungkin salah mengenali Baekhyun, dia sendiri yang memilih gaun untuknya.

Sambil mengerutkan dahi, Chanyeol mengendap-endap di belakang mereka. Chanyeol merapatkan diri ke dinding dan mengamati Kris sampai ia membawa Baekhyun masuk ke dalam sebuah ruangan—lalu menutup pintunya rapat-rapat. Setelah menarik napas panjang, dia mulai berjalan mendekati pintu itu dan—

“Daerah situ dilarang dimasuki, hei pelayan.”

—ada yang menegurnya. Dari belakang. Chanyeol tidak tahu sudah berapa lama ia diawasi.

Chanyeol kira yang memergokinya adalah pelayan—seperti Xiumin—yang bisa mudah dikelabui. Nyatanya dia melihat seorang pemuda bertubuh kekar, membawa tongkat, dan memasang sorot tajam seolah ingin membelah Chanyeol jadi tiga.

Dan lebih buruk lagi, Chanyeol mengenali wajahnya.

“Kau tidak sopan!”

Baekhyun melepaskan tangan dengan paksa begitu Kris menutup pintu ruang kamarnya. Baekhyun tidak tahu ruangan apa ini—sebenarnya. Tapi ada ranjang dengan tirai mewah, lemari baju, dan perabotan lain, maka dia berasumsi bahwa ini adalah sebuah kamar. Kamar Kris Wu—dan dia masih belum tahu alasan mengapa dia diseret sampai kesini. Apapun itu, sepertinya bukan hal yang baik.

“Aku biasanya sopan terhadap wanita,” timpalnya datar. Kris menuju salah satu laci, mengambil sesuatu di dalamnya. Baekhyun berdiri dekat pintu, mengamati tiap gerak geriknya—setengah panik.

“Tapi tidak untuk wanita yang menyusup ke acara pestaku,” lanjutnya, dan Baekhyun terperanjat. Pertama karena ternyata Kris tahu maksud kedatangannya, dan kedua karena Kris sudah berbalik melangkah ke arahnya. Tangan kanan membawa suntikan, tangan kiri menggenggam pistol.

Tidak ada yang lebih buruk daripada ini.

“Apa maksudmu?” Baekhyun mulai merasakan ketakutan dalam suaranya, dia berjalan mundur hingga menabrak tembok. “Apa yang akan kau lakukan?”

Baekhyun sudah berusaha menghubungi Chanyeol lewat alat komunikasi mereka—tapi gagal. Hubungannya terputus, dia tidak bisa mendengar suara Chanyeol sejak beberapa menit yang lalu.

“Aku tidak mudah dikelabui, nona, walaupun kau manis,” Kris tersenyum simpul, menghimpit Baekhyun diantara tubuhnya dan dinding pucat. “Aku tidak mengundang orang dari media.”

Baekhyun bergidik lagi ketika Kris menekan pipinya dengan ujung pistol. Ujung gaunnya masih menitikkan air, membuat jejak basah di pahanya yang pucat. Kris melihat ini, dia mengusap naik bulir air tersebut dengan jari telunjuknya. Baekhyun sontak melenguh, wajahnya merah. Dia normal, harusnya dibeginikan oleh lelaki lain tidak memberi efek apa-apa baginya.

“Aku tidak tahu apa maksudmu menyusup, nona. Tapi selamat tidur,” Kris mengecup dahinya, lalu mengangkat jarum suntik itu ke lengannya yang terbuka.

Harusnya Baekhyun melawannya balik.

Harusnya Baekhyun meneriakkan nama Chanyeol keras-keras, agar si bodoh itu datang dan menyelamatkannya seperti super hero.

Harusnya Baekhyun tidak membiarkan Kris menyelipkan jarum kecil itu kedalam kulitnya, lalu jatuh ke tanah karena seluruh tubuhnya lumpuh.

Harusnya dia tidak berada disini.

Dia melihat suruhan Yixing.

Chanyeol tidak mungkin salah mengenalinya—dia suruhan Yixing. Orang yang sama dengan yang menubruk mobilnya, melakukan percobaan pembunuhan kepadanya, dan mengejar Byun Baekhyun tempo hari. Chanyeol selalu hapal wajah orang itu—matanya yang tajam, kulitnya yang terbakar mirip Jongin, dan rambutnya yang hitam kelam.

“Kau suruhan Yixing!” Chanyeol tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut dalam suaranya.

Orang itu mengernyit, “Aku bukan suruhan Yixing. Aku Zitao, pembunuh bayaran. Siapa saja bisa memakai jasaku—kau siapa?”

“Aku,” Chanyeol melepas kumis palsu di wajahnya, “orang yang jadi targetmu beberapa hari lalu.”

Zitao membulatkan matanya, tampak sama terkejutnya dengan Chanyeol. “Park Chanyeol,” desisnya, sambil membuat ancang-ancang dengan tongkatnya.

Sebentar. Chanyeol tidak membawa senjata api, dia datang dengan tangan kosong. Dia kira penjagaan di kediaman Kris Wu hanya berupa sensor elektrik dan benda lainnya—bukan bodyguard betulan seperti ini. Dilihat dari air mukanya, Chanyeol yakin Zitao bisa menyerangnya kapan saja dengan tongkat itu. Kris Wu membayarnya untuk menjaga tempat ini—masuk akal.

“Aku tidak peduli apa yang kau lakukan disini, Tuan penjual ginjal,” Zitao berkata dengan tenang. “Tapi tugasku adalah menjaga tempat ini—kamar Tuan Kris, khususnya.”

Jadi barusan Kris mengajak Baekhyun ke kamarnya? Oke. Chanyeol mengutuk geram dalam hati, kalau sampai Kris melakukan hal macam-macam pada Baekhyun—oh, awas saja. Byun Baekhyun milik Chanyeol, tidak boleh ada orang lain yang sembarangan menggunakannya. Chanyeol teringat kalimat yang dia katakan pada Baekhyun dulu, bahwa dia akan menjualnya untuk prostitusi. Kalau dipikir lagi ternyata dia tidak bisa—lebih baik menikmati Baekhyun untuk dirinya sendiri.

“Aku ingin masuk kamar itu Zitao. Kris membawa temanku,” ujar Chanyeol ragu. Negosiasi dengan pembunuh bayaran itu hal terbodoh yang pernah dilakukannya.

“Tidak boleh!” Zitao tiba-tiba membuat gerakan aneh, lalu menerjang maju dengan tongkatnya. Menyerang Chanyeol yang tidak memasang pertahanan sama sekali.

Chanyeol sempat tertegun dengan aksi Zitao barusan—wushu. Dia berkelit, dan berhasil—tapi Zitao lebih cerdik, tongkatnya memukul Chanyeol dari samping. Kena telak. Si jangkung meringis nyeri ketika tongkat besi itu mengenai lengannya.

Zitao menarik tongkatnya kembali lalu memutarnya di udara, seperti ahli akrobat. Chanyeol pasti kalah dalam pertarungan fisik. Apalagi kali ini lawannya memakai tongkat dan menggunakkan wushu. Tambah kalah.

“Zitao, biarkan aku masuk.” Chanyeol mencoba jalan damai untuk yang terakhir kalinya, siapa tahu Zitao tersentuh hatinya. Oh, siapa tahu. Kesempatan selalu ada.

Zitao menaikkan sebelah alis, “Kau memohon padaku? Park Chanyeol memohon?”

“Tentu saja tidak! Aku hanya menggertak,” Chanyeol terkekeh dengan paksa. Dia kembali berdiri tegap ketika Zitao tiba-tiba menyulutnya seperti itu. Diam-diam Chanyeol membuat catatan mental untuk belajar bela diri begitu menyelesaikan urusannya disini.

“Kalau begitu, go on. Aku ingin lihat kemampuanmu,” Zitao memainkan tongkatnya lagi, lalu mengarahkannya pada Chanyeol.

Chanyeol menelan ludah. Satu-satunya kesempatan untuk lolos dari Zitao adalah melewatinya, lalu masuk ke dalam kamar Kris Wu.Tapi itu mustahil—iya, mustahil. Tongkat panjang itu bisa menjangkau apa saja, percuma bila dia menerjang maju dengan tangan kosong. Alih-alih berhasil, siapa tahu kepalanya malah lepas. Nyawa jadi taruhannya disini.

Zitao menghantam perutnya ketika Chanyeol sedang lengah, tenggelam dalam pikirannya. Tidak sempat menahan serangannya, Chanyeol tersungkur jatuh lalu terbatuk. Rasanya sakit sekali—seperti ditinju. Tiga kali lipat. Dia mengerang sambil memegangi perut, sementara Zitao berbalik membelakanginya untuk berjalan kembali ke depan pintu kamar Kris.

Disini Chanyeol melihat celah kesempatan.

Chanyeol berdiri tergesa, lalu menerjang Zitao—mendorongnya ke samping, hanya untuk melewatinya dan mencapai pintu kamar. Kalau tidak bisa menyerang balik, paling tidak hindari saja si lawan. Chanyeol menahan napas dan membuka pintunya dengan cepat—untung saja tidak dikunci.

Chanyeol sudah siap dengan apapun yang tengah terjadi di balik pintu. Tapi dia tetap terkejut ketika pintu mengayun, dan menampakkan Baekhyun yang terkapar kaku di atas lantai. Kris berlutut di sisinya—dengan sebuah jarum suntik dan pistol di tangannya. Chanyeol merasa darah naik ke kepalanya dalam sekejap.

“Pelayan. Jangan sembarangan masuk, apa yang kau lakukan?” Kris mengerutkan dahinya sambil menengadah, dingin. Dia bersikap dengan wajar, seolah pemandangan di kamarnya adalah hal paling normal yang biasa dilakukannya.

Chanyeol tidak bergeming dari ambang pintu, masih bisu menatap Baekhyun disana. Otaknya tidak bisa bekerja, jantungnya berpacu kelewat cepat. Pikiran buruk menghantuinya—dia takut. Tidak mungkin Baekhyun tewas disini. Tidak mungkin Kris membunuh Baekhyun kan?

Tidak mungkin. Tapi otaknya sudah terlanjur berhenti berpikir.

“APA YANG KAU LAKUKAN PADANYA!” Chanyeol menerjang masuk dengan histeris, tapi Kris tetap memasang ekspresi datar.

Kris mengisyaratkan sesuatu dengan matanya—entah pada siapa. Chanyeol baru tahu arti isyarat itu ketika sebuah besi panjang menghantam kepalanya dari belakang. Dalam pikirannya terlintas Zitao—satu detik sebelum matanya kabur dan tubuhnya terjatuh, lemas, dan dia tidak ingat apa apa lagi.

Dari kecil, Jongin selalu percaya dengan kemampuan fisiknya. Dia sering berkelahi dengan berandalan—kakak kelasnya, atau anak-anak dengan tubuh yang lebih besar darinya. Orang lain sering menjulukinya cheetah, larinya cepat dan bisa menerkam siapa saja. Dan Jongin percaya dengan julukan itu, dia selalu merasa paling kuat dibanding orang lain—dibanding Chanyeol, Yixing, atau siapapun itu.

Tapi Oh Sehun mematahkan semuanya.

Jongin duduk bersandar pada sebuah pohon—tak jauh dari mobilnya—sambil meringis. Wajahnya penuh luka lebam, kemejanya kotor dan kusut. Dia memegangi perutnya yang berdenyut tidak karuan—hasil dari tendangan Sehun beberapa menit yang lalu. Sehun berdiri beberapa meter di depannya, menghubungi rekannya yang lain lewat ponsel. Mungkin sebentar lagi satuan polisi akan datang dan mengamankannya.

Dia kalah telak. Jongin memang berhasil melukai Sehun—sedikit, membuat mulutnya berdarah dan matanya memar—tapi Sehun jauh lebih unggul. Tubuhnya tidak bisa diajak berdamai, dia ingin beranjak dari situ dan menghajar polisi itu lagi, tapi hasilnya nihil. Dia sempat menyesal mengapa tadi bertindak gegabah dan keluar dari mobil begitu saja tanpa membawa pistolnya. Bodoh.

“Bagaimana,Tuan? Kalau kau tadi menurut, kau tidak akan terluka seperti ini,” Sehun melempar tatapan malas ke arah Jongin, sambil mengusap ujung bibirnya sendiri yang berdarah.

“Aku terluka karena mengalah,” Jongin mengedikkan bahu, lalu tersenyum jijik.

“Kau terlalu banyak omong.” Sehun menghampiri Jongin, dan menginjak perutnya lagi dengan kesal. Jongin hendak mengelak—gagal—akhirnya dia hanya mendesis sambil menahan rasa sakit. Lain kali dia tidak akan mengampuni si Oh Sehun ini.

Jongin bergumam diantara napasnya yang tidak karuan, “Hentikan itu, kau kira aku masokis?”

Sehun hendak mengatakan sesuatu dan menendang Jongin lagi, tapi sesuatu menghentikannya. Sesuatu—yang juga berhasil membuat Jongin membulatkan matanya dengan kaget.

Suara tembakan.

Jongin sempat berpikir bahwa seseorang—rekan Sehun, atau siapapun itu—menembaknya. Dia menunggu sampai tubuhnya bereaksi pada rasa sakit yang luar biasa, tapi tidak terjadi apa-apa. Alih-alih, Sehun tumbang dramatis di hadapannya. Dia berlutut memegangi perutnya yang berdarah, lalu terjatuh dalam bisu.

Jongin menaikkan kedua alisnya—takut dan bingung, karena dia tidak tahu siapa oknum yang menembak Sehun. Apalagi ketika sebuah sosok muncul dari balik semak, mendekatinya—dia makin panik. Orang itu perlahan menampakkan dirinya, hingga Jongin bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia tersenyum pada Jongin.

Sambil menatap orang itu, Jongin menelan ludah dengan susah payah, “Do Kyungsoo..?”

-TBC-

A.N: Buat yang menunggu… maaf lama! Sesuai janji, ini aku kelarin abis UAS :”3 mumpung aku libur rada lama jadi bisa ada waktu buat rampungin fic yang lain…

Disini aku sempet bingung soalnya gonta-ganti sudut pandang 3 orang, semoga gak bikin bingung pas dibacanya ;-; 

Kalian bisa bayangin Chanyeol pake kumis kan? Pasti bisa! Inget aja foto dia pas ivy club hoho.

dan… btw makasih buat yang udah support sampai sini! love you guys, see you~

243 pemikiran pada “[FF] North Pole [Chapter 5]

  1. really nice fanfiction authornim!
    chanbaek nya pas ga berlebihan gitu
    suka banget sama plot nya 🙂
    i’ll wait for next chap!
    and I KaiHun shipper, banyakin momment mereka pls

  2. Oh oh oh, aku tahu kokk karena besok senen aku juga mau UTS asatag-___- perasaan baru kemaren liburan tau tau udah begini nasibnya.

    Tadinya aku main ke sini kemaren, soalnya aku terpesona(jiaaahhh terspesona._.) Sama tulisan kamu yang judulnya momento. Tapi aku dari segi luar kurang tertarik buat baca fiksi yang satu ini. But, okelah siapa yang tau kalau isinya itu kocak dan aksi nya banyak udah gitu jarang ada penulis yang ngangkat tema begini dan masalahnya unik + semua member exo muter muter jadi tokoh yah disitu:D

    North pole ini masuk catetan fiksi chapter yang aku tungguuiinnn okeeee, keep writing terus yaaa^o^)9

  3. Hai…
    Aq reader baru disin… ya, walaupun chap.1 sampai chap ini aq sdh baca. Sory kalau baru review skrg..
    Chap 6 nya kapan up date???
    Up date nya kalau bisa jgn terlalu lm ya…
    Btw ada kaisoo nya gak???. aq juga kaisoo shiper soalnya… ^^

  4. kak ini kapan dilanjut?!?!;” sumpah ff nya keren sayang bnget kak kalo ga dilanjut. sumpah demi apapun aku penasaran bgt ih;(( ayolah ka dilanjut;((

  5. Chapter 6 mana woooooyyy!!!! *kaga nyante*
    Sumpah! Bener” keren ini ff!!
    Lanjutkan!!! *kaga nyante lagi*
    Btw, komenan gue telat amat ya? *mikir*
    Lanjut thor!!

  6. Kyaaaa baekhyun ga matikan? Chanyeol apa kabar? Penasaran bgttt huaaaa, semuanya ngegantung. Pls thor reader jangan di gantungin. Omg perasaan ni ff udah lama bgt yaa ga di lanjutin? Ayo dong thor dilanjutin segera belum klimakskan? Chanbaek momentnya juga belum dapet, ni ff kece banget meski aku telat bacanya -_-a /pakebangett/. Ayo thorr ganbattene 9^e^9

  7. W0o0w deabaek,,
    cerita kereeeeeen….
    Gag kebayang kumis lagi gua,,
    baekkie pake gaun sexi….??

    tapi semua msk ngegantung t0r,,
    misi gagal,belum ad percik cinta dr baekkie tk channie..

    kapan chap selanjutnya di publis t0r,
    jgn bwt gua mati penasaran..

    jebaaaaaaal,.,
    salam kenal t0r..

  8. kapan dilanjutinnya lagi? gue baru aja baca, tapi kan ff ini udah sekitar 2 tahunan’-‘ masih tetep dilanjut ga? ayolah, ini penggambaran ceritanya keren bgt sumpah.. sayang bener kalo ga dilanjutin lagi T.T

  9. sumpah thor sumpaahhh, kenapa disini jongin bego banget wkwkwkwk. btw udah baca dr chap awal baru komen sih hehehe gpp ya komen disini. terus ini tuh kapan di lanjut ya thor? nasib chanbaek ya gimana pula dah tuh, lanjut thorrr

  10. Ping balik: Rekomendasi FF | Armithasekar

  11. Yosh tepat hari ini hari terakhir 2015 dan aku benar baru membacanya. Bagaimana nasibku author? Bentar lagi author makan korban lagi, gue mati penasaran. PLEASE AUTHOR IF YOU CAN, REPLY MEEE!!!

  12. uh mian baru komen. boleh kritik gaaak??(0~0) hmm episode 4 nya aku rada binguung(>°<) toh kan katanya baekhyun sembunyi di antara mobil di ruangan itu apalah lupa.gg trus kok dibilang ama zitao bangunannya udh gk kepakai'-'

  13. Karakter Jongin unyu banget >w< btw, Baekhyun sepertinya juga harus diajarin bohong dulu. Gimana nasib dia sama Kris… Chanyeol tanggung jawab!!

Tinggalkan komentar